Wednesday, March 11, 2015

Belajar Politik Demokrasi dari Suku Buton Era Abad ke-15

Belajar Politik Demokrasi dari Suku Buton Era Abad ke-15

Sudah lazim pada zaman dulu, suku-suku di wilayah tengah hingga timur Nusantara memenggal kepala untuk memperebutkan batas wilayah. Namun, hal itu tak berlaku di Buton. Suku Buton malah memberikan kekuasaan pada orang luar dengan sistem demokrasi pada abad ke-15.

"Potong kepala itu cara yang terjadi saat 2 kelompok manusia bertemu. Ini tujuannya supaya tidak saling mengganggu. Namun, ada yang kemudian mencari cara untuk menghindari kekerasan. Di Buton, justru menyerahkan kekuasaan pada orang luar," jelas antropolog dari Universitas Indonesia, Dr Tony Rudyansjah MA.

Hal itu disampaikan Tony dalam Half Day Seminar on Genetic Diversity: Austronesian Diaspora di Eijkman Institute, Jl Diponegoro 69, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (11/3/2015).

Suku Buton yang bermukim di Pulau Buton lepas pantai Sulawesi Tenggara itu, imbuh Tony, terdiri dari orang pribumi yang berburu dan orang dari Luwuk-Sulawesi Tengah, Pulau Selayar-Sulawesi Selatan dan Pulau Laut-Kalimantan Selatan yang gemar melaut dan berdagang. Pada tahun 1414, Suku Buton malah mengangkat ratu dari China dan raja dari Jawa.

"Pada tahun 1414 Suku Buton mengangkat Ratu Wa Kaa Kaa dari China dan Raja Sibatara. Sibatara ini kalau kita kaji naskah sejarahnya adalah anak Raja Brawijaya V," jelas Tony.

Raja Brawijaya V, raja terakhir Kerajaan Majapahit, memiliki 117 anak. Nah salah satu anaknya, ada yang menjadi adipati di Luwuk, yakni Sibatara. Mengapa malah orang luar yang diberi tahta?

"Menurut saya justru itu sangat cerdas. Mereka mengangkat ratu dari China, negara yang saat itu tinggi derajatnya, dengan anak dari Raja Brawijaya yang juga tinggi derajatnya. Dengan demikian, diharapkan derajat mereka ikut terangkat. Mereka saat itu dikawinkan," jelas dia.

Di Buton, zaman dulu masyarakat sudah memiliki struktur. Golongan Wolio adalah golongan yang biasanya mengisi struktur teratas, seperti raja. Kemudian Kaumu yakni kaum bangsawan atau ningrat, yang sampai hari ini dikenali dari marga 'La Ode' untuk laki-laki dan 'Wa Ode' untuk perempuan. Kemudian ada Walaka, semacam dewan adat yang tugasnya menjadi penasihat spiritual.

"Walaka inilah yang bertugas memilih raja. Mereka punya slogan yang intinya 'naik ke atas bersama saya, turun bersama saya. Kalau melupakan saya, kita bercerai dan pilih yang lain'," jelas Ketua Departemen Antropologi FISIP-UI ini.

Jadi, bila raja yang telah dipilih oleh Walaka itu wanprestasi, cedera janji dan melenceng tak prorakyat lagi, bisa digulingkan dari tahtanya.

"Banyak itu raja yang diturunkan dari tahtanya, kemudian dihukum gantung. Ini diketahui dari makamnya, ada nisan yang bertuliskan 'Raja yang digantung' bila diartikan. Banyak raja saat itu yang digulingkan," jelasnya.

Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi itu sudah berlaku sejak lama di Buton, jauh sebelum Barat menerapkan demokrasi, penentuan kekuasaan itu juga dibagi dengan orang biasa. Uniknya, papar Tony, keturunan raja tak serta merta menjadi raja. Semua kembali ditentukan oleh Walaka.

"Jadi untuk pengganti raja, anak raja itu tidak otomatis menjadi raja, dipilih lagi oleh Walaka. Walaka mengamati lagi tingkah laku dan gerak gerik siapa yang pantas," imbuhnya.

Tingginya peradaban ini bertahan setelah Islam masuk ke Buton dan Kerajaan Buton berubah menjadi Kesultanan Buton pada tahun 1542. Bahkan dalam pembukaan undang-undang Kesultanan Buton didapati kalimat "Kenalilah dirimu dengan baik, maka kamu akan mengenal Tuhanmu". Kemudian UU itu juga menyebutkan 4 pasal yakni saling menghormati, saling memelihara, saling menjaga dan saling takut menakuti. Kebijakan itu juga berlaku pada para pelaut Suku Buton.

"Bila pelaut yang hendak melaut ada masalah dengan istri dan belum melakukan kewajibannya, maka pelaut itu tidak boleh pergi. Kalau dipaksakan pergi, bisa jadi tak membawa hasil. Jadi ada keseimbangan," tandas dia.

Dari Wikipedia didapatkan bahwa nama Buton masuk dalam kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi. Di situ disebut Buton atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi yang terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama Pulau Buton juga telah dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa menyebut nama Pulau Buton. detik.com

Blog Archive