Friday, April 10, 2015

Keterlibatan Anak Muda di Pusaran Radikalisme dan Terorisme

Kaum pemuda yang terlibat dalam pusaran ideologi radikalisme dan terorisme keagamaan adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Selalu ada kelompok anak muda yang secara aktif terlibat dalam setiap peristiwa kekerasan atau terorisme keagamaan baik di tanah air maupun di belahan dunia lain.

Sejumlah peristiwa radikalisme dan terorisme yang terjadi di Indonesia, selalu melibatkan anak muda. Sekalipun bukan kapasitas sebagai ideolog atau mentor spiritual, para pelaku aktif selalu didominasi anak muda. Hal itu bisa dibuktikan di balik serangkaian peristiwa terorisme seperti bom Bali I dan II, bom di depan Kedutaan Australia, bom di Kuningan, bom di Gereja Injil Sepenuh Solo dan banyak lainnya. Semua insiden terorisme tersebut dilakukan oleh anak-anak muda berusia 17 hingga 35 tahun.

Hal itu mengindikasikan bahwa ideologi radikalisme memiliki daya pesona yang cukup kuat bagi anak muda, tidak hanya di negara-negara berkembang seperti Indonesia tetapi juga di negara-negara maju. Keterlibatan anak muda di balik terorisme kelompok Islamic State Iraq and Syria (ISIS) bahkan lebih mengejutkan. Seperti kita saksikan melalu media sosial seperti Youtube, terdapat anak-anak berusia 10 tahun ke bawah yang menjadi pelaku kekerasan dan bom bunuh diri. Artinya anak-anak telah menjadi korban radikalisasi ideologi keagamaan oleh para orang tua yang seharusnya menjadi penjaga ideologi bagi anak-anaknya.

Dalam rangka mencegah maraknya keterlibatan anak muda dalam pusaran ideologi radikalisme, pemerintah dan masyarakat perlu mempertimbangkan hal-hal berikut. Pertama, mendesain materi dan metode deradikalisasi yang relevan dengan karakteristik psikologis anak muda. Kedua, perluasan jangkauan program deradikalisasi ke wilayah-wilayah yang selama ini dianggap privat seperti keluarga. Program deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama ini hanya menyentuh ormas-ormas keagamaan dewasa yang jumlahnya terbatas dan juga memerlukan peran dari keluarga. Ketiga, mengatasi dislokasi dan deprivasi social anak-anak muda melalui program pelibatan sosial.

Selanjutnya, penanaman wawasan keagamaan yang terintegrasi dengan wawasan kebangsaan. Harus diakui wawasan keagamaan anak muda selama ini lebih banyak terceraikan dari wawasan kebangsaan. Hal ini perlu partisipasi dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Terakhir, perlu menciptakan role model yang bisa dijadikan rujukan atau panutan dalam kehidupan keagamaan anak-anak muda. Keteladanan dari seorang figur akan memudahkan anak-anak muda untuk meniru dan mencontoh hal-hal baik yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan langkah-langkah diatas, setidaknya akan meminimalisir dan mencegah keterlibatan anak-anak muda dalam gerakan radikalisme dan terorisme seperti ISIS. Sehingga pemberantasan dan pembasmian radikalisme agama dan terorisme di Indonesia bisa diantisipasi dan ditanggulangi sejak dini.

Blog Archive