Tuesday, April 14, 2015

Operation Decisive Storm, Israel 'Tersenyum' Dibalik Serangan ke Yaman

Operation Decisive Storm, Israel 'Tersenyum' Dibalik Serangan ke Yaman
Daerah Yaman yang lebih luas dikendalikan oleh kelompok pemberontak bersenjata daripada pemerintah pusat.

Pada bulan April 2015, para pemimpin Zionis Israel sedang bersukacita. Penyebabnya tak lain dan tidak bukan adalah operasi militer koalisi sepuluh negara pimpinan Arab Saudi untuk menghantam milisi al Khauthi di Yaman. Operasi itu bernama Operasi Badai Tegas alias Amaliyah Ashifah al Hazm atau Operation Decisive Storm.

Dinamakan demikian, barangkali untuk menegaskan kepada dunia, terutama milisi al Khauthi, bahwa operasi kali ini tidak main-main. Bila milisi al Khauthi dan siapa pun yang mendukungnya berani macam-macam, misalnya mengancam keamanan negara-negara Teluk, maka mereka akan disikat dengan tegas oleh operasi yang bagaikan badai besar bergulung-gulung. Israel Merasa Tak Khawatir

Sebagai catatan, daratan Yaman di Jazirah Arabia berbatasan langsung dengan Saudi di sebelah utara, dan Oman di sebelah timur.

Meskipun operasi ini bernama Badai Tegas, namun koalisi militer sepuluh negara ini justeru disambut Zionis Israel dengan tempik sorak-sorai. Ya, mereka bisa menyaksikan pesawat tempur koalisi menyerang sasaran-sasaran militer al Khauthi sambil minum kopi di pagi hari. Santai dan nyaman.

Marilah kita simak tulisan kolomnis Yahudi Zvi Barel di media Israel Haaretz edisi 30 Mei lalu. Katanya, sejumlah negara Arab sedang membentuk sebuah kekuatan (koalisi) militer yang besar nan kuat dan, untuk pertama kalinya, Israel tidak merasa khawatir. Bukan hanya tidak khawatir, tapi sebenarnya Israel juga gembira, tulis Barel.

Operation Decisive Storm, Israel 'Tersenyum' Dibalik Serangan ke Yaman
Perang konflik antara Sunni vs. Syiah mirip ketika terjadi perang konflik Kristen antara Katolik dan Protestan di Irlandia Utara di era 80-90an. Semua agama diadu domba. Menurut Zvi Barel, selama beberapa generasi strategi pertahanan Israel didasarkan pada satu fokus, yaitu untuk menangkal setiap koalisi militer Arab ketimbang militer negara-negara Arab secara individu.

Namun, lanjutnya, Israel justeru melihat koalisi yang sekarang sebagai elemen yang tak terpisahkan dari kebijakan pertahanan Israel sendiri. Bahkan meskipun tidak terlibat dalam koalisi itu, Israel telah mengambil keuntungan dari koalisi militer Arab itu.

Hal yang sama dinyatakan pengamat Israel lainnya, Prof Eyal Zisser. Dalam makalahnya di media Israel Hayom (Israel Today) pada awal April 2015 lalu, ia mengatakan koalisi militer pimpinan Saudi itu adalah sesuatu yang menggembirakan.

Namun, kali ini bukan untuk menyerang Israel, tapi untuk membendung pengaruh Syiah di Jazirah Arabia.

Negara-negara Arab Sunni yang menentang Arab Spring adalah mereka yang kini memimpin perang melawan pengaruh Syiah di Timur Tengah, tulis The Jewish Press.

The Arab Spring atau al Rabi al Araby adalah revolusi rakyat Arab untuk menentang penguasa diktator otoriter yang berlangsung sejak empat tahun lalu.

Operation Decisive Storm, Israel 'Tersenyum' Dibalik Serangan ke Yaman

Arab Berubah: Palestina bukan lagi prioritas utama bagi bangsa-bangsa Arab dan umat Islam

Kolomnis dan wartawan senior Mesir, Fahmi Huwaidi, sepakat dengan pandangan The Jewish Press. Dalam media Aljazeera.net pada 08/04/2015 lalu, ia menyatakan kawasan Timur Tengah kini memang sedang berubah.

Apalagi bila dibandingkan dengan tahun-tahun 1950-an hingga 1970-an. Tahun-tahun ketika Liga Arab atau Arab League dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) didirikan.

Waktu itu salah satu tujuan utama dari pendirian kedua organisasi atau lembaga itu adalah membantu perjuangan bangsa Palestina memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan di tanah airnya sendiri.

Mengutip Huwaidi, ada dua perubahan mendasar yang terjadi pada bangsa-bangsa Arab:

Pertama, para pemimpin Arab kurang atau bahkan tidak peduli lagi pada nasib bangsa Palestina. Suasana politik, keamanan, dan bahkan kebatinan bangsa-bangsa Arab sekarang ini bahwa musuh utama mereka adalah pengaruh Syiah dan bukan lagi Zionis Israel.

Kedua, kekhawatiran terhadap pengaruh Syiah telah mengakibatkan konflik yang tadinya bernuansa politik kini berubah menjadi konflik antarmazhab atau paham keagamaan. Tepatnya antara Sunni dan Syiah. Konflik yang demikian bisa saja melampaui batas-batas negara Arab dan merembet ke negara-negara Islam (mayoritas berpenduduk Muslim) dan dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Hal inilah yang menenangkan Zionis Israel dan memunculkan rasa suka cita, ujar Huwaidi. Contoh lain mengenai perubahan negara-negara Arab yang menguntungkan Zionis Israel adalah dalam kasus Mesir.

Mesir hingga kini dianggap sebagai salah satu negara paling berpengaruh di Timur Tengah. Baik dari segi jumlah penduduk, politik, sosial/agama maupun militernya. Bahkan militer Mesir kini merupakan yang paling kuat di antara negara-negara Arab lainnya.

Ada empat rambu yang selalu digariskan AS dalam memberikan bantuan persenjataan/militer ke Mesir, yaitu:
Untuk memerangi teroris,
Menjaga perbatasan,
Mengawal serta menjaga keamanan laut, dan terakhir
Memelihara keamanan Sinai. Operation Decisive Storm, Israel 'Tersenyum' Dibalik Serangan ke Yaman
Pada era 1980-1990-an, kekuatan dibagi banyak negara. Ada Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan Aljazair.

Negara-negara Teluk pada saat itu bisa dikatakan hanyalah anak bawang. Kini negara-negara Teluk yang justru menjelma menjadi kekuatan utama Liga Arab, selain Mesir.

Salah satu contoh pengaruh negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi, adalah pembentukan koalisi militer untuk menyerang milisi al Khauthi di Yaman. Dengan pengaruh politik dan ekonominya, Arab Saudi telah berhasil menjadikan isu keamanan negaranya menjadi masalah keamanan Teluk dan bahkan Liga Arab. sumber
Spoiler: indocropcircle

Blog Archive